Inggris butuh 10.000, Jepang butuh 20.000, negara-negara Timur Tengah juga butuh ribuan, bahkan Amerika bisa mencapai angka ratusan ribu. Total dunia membutuhkan 2 juta per tahun untuk kebutuhan yang satu ini. Wah, butuh apa nih? Ternyata, butuh tenaga perawat! (Pikiran Rakyat, 2006).
Beberapa tahun terakhir ini, pengiriman tenaga kesehatan Indonesia ke luar negeri, khususnya perawat, menjadi perbincangan yang cukup hangat di berbagai kalangan. Di tengah semakin meningkatnya jumlah pengangguran terdidik dari tahun ke tahun, tentu merupakan hal yang melegakan bahwa perawat dari Indonesia dilaporkan berpeluang bekerja di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Benua Eropa (Inggris, Belanda, Norwegia), Timur Tengah (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Kuwait) dan kawasan Asia Tenggara (Singapura, Malaysia). Jumlah permintaan berkisar antara 30 orang sampai dengan tidak terbatas (BPPSDMK, 2007).
Kekurangan perawat di dalam negeri merupakan alasan utama negara-negara tersebut untuk menerima tenaga dari luar negeri. Di AS, misalnya, pada 2005 mengalami kekurangan 150.000 perawat, pada 2010 jumlah tersebut menjadi 275.000, pada 2015 sejumlah 507.000, dan pada 2020 menjadi 808.000 perawat. Namun demikian, kekurangan tersebut tersebut menyebabkan mereka lebih berfokus pada bagaimana menghasilkan perawat yang lebih banyak, bukan untuk mencetak perawat yang berpendidikan lebih baik (Bartels JE, 2005).
Di Indonesia, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDM Kesehatan) melaporkan bahwa jumlah terbesar Tenaga Kesehatan Profesional Indonesia (TKPI) yang telah bekerja di luar negeri mulai 1989 sampai dengan 2003 adalah perawat (97.48% dari total sebanyak 2494 orang). Meskipun jumlah perawat yang bekerja di luar negeri menempati prosentase terbesar dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, masih terdapat beberapa poin penting yang perlu menjadi perhatian dan ditanggulangi mulai dari saat ini.
Dari beberapa laporan diketahui bahwa kendala utama yang dihadapi oleh para perawat Indonesia adalah kemampuan berbahasa Inggris dan ketrampilan yang masih kurang. Berkenaan dengan ketrampilan perawat Indonesia yang masih kurang, terlihat dari segi skoring NLEX (National License Examination) yang masih rendah. Ujian NLEX sendiri merupakan prasyarat perawat Indonesia untuk dapat bekerja di luar negeri. Sebagai gambaran, skor yang diperoleh perawat Indonesia adalah angka 40. Padahal skoring yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara 50 sampai 70 dan di AS antara 70 sampai 80 (Pusdiknakes, 2007).
Dua hal tersebut tampaknya perlu untuk segera ditanggulangi selain faktor-faktor lain yang belum teridentifikasi dalam tulisan ini. Beranjak dari hal inilah sebenarnya lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia dapat mulai ikut berperan aktif dalam merumuskan strategi yang tepat dalam mendidik calon perawat. Laporan tentang pengalaman perawat yang berkerja di luar negeri perlu disampaikan dalam tulisan ini agar kita dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Sampai saat ini penulis belum menemukan laporan penelitian yang terkait dengan pengalaman perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri. Di lain pihak, kebanyakan laporan penelitian di negara lain terkait topik tersebut menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dilaporkan bahwa alasan yang mendorong seorang perawat untuk bekerja di luar negeri antara lain gaji yang lebih tinggi, prospek karir dan pendidikan yang lebih menjanjikan (Buchan, J. & Calman, L, 2007).