Tampilkan postingan dengan label Prospek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prospek. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Oktober 2008

Prospek Kerja Perawat Di Luar Negeri

Inggris butuh 10.000, Jepang butuh 20.000, negara-negara Timur Tengah juga butuh ribuan, bahkan Amerika bisa mencapai angka ratusan ribu. Total dunia membutuhkan 2 juta per tahun untuk kebutuhan yang satu ini. Wah, butuh apa nih? Ternyata, butuh tenaga perawat! (Pikiran Rakyat, 2006).

Beberapa tahun terakhir ini, pengiriman tenaga kesehatan Indonesia ke luar negeri, khususnya perawat, menjadi perbincangan yang cukup hangat di berbagai kalangan. Di tengah semakin meningkatnya jumlah pengangguran terdidik dari tahun ke tahun, tentu merupakan hal yang melegakan bahwa perawat dari Indonesia dilaporkan berpeluang bekerja di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Benua Eropa (Inggris, Belanda, Norwegia), Timur Tengah (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Kuwait) dan kawasan Asia Tenggara (Singapura, Malaysia). Jumlah permintaan berkisar antara 30 orang sampai dengan tidak terbatas (BPPSDMK, 2007).

Kekurangan perawat di dalam negeri merupakan alasan utama negara-negara tersebut untuk menerima tenaga dari luar negeri. Di AS, misalnya, pada 2005 mengalami kekurangan 150.000 perawat, pada 2010 jumlah tersebut menjadi 275.000, pada 2015 sejumlah 507.000, dan pada 2020 menjadi 808.000 perawat. Namun demikian, kekurangan tersebut tersebut menyebabkan mereka lebih berfokus pada bagaimana menghasilkan perawat yang lebih banyak, bukan untuk mencetak perawat yang berpendidikan lebih baik (Bartels JE, 2005).

Di Indonesia, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (PPSDM Kesehatan) melaporkan bahwa jumlah terbesar Tenaga Kesehatan Profesional Indonesia (TKPI) yang telah bekerja di luar negeri mulai 1989 sampai dengan 2003 adalah perawat (97.48% dari total sebanyak 2494 orang). Meskipun jumlah perawat yang bekerja di luar negeri menempati prosentase terbesar dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, masih terdapat beberapa poin penting yang perlu menjadi perhatian dan ditanggulangi mulai dari saat ini.

Dari beberapa laporan diketahui bahwa kendala utama yang dihadapi oleh para perawat Indonesia adalah kemampuan berbahasa Inggris dan ketrampilan yang masih kurang. Berkenaan dengan ketrampilan perawat Indonesia yang masih kurang, terlihat dari segi skoring NLEX (National License Examination) yang masih rendah. Ujian NLEX sendiri merupakan prasyarat perawat Indonesia untuk dapat bekerja di luar negeri. Sebagai gambaran, skor yang diperoleh perawat Indonesia adalah angka 40. Padahal skoring yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara 50 sampai 70 dan di AS antara 70 sampai 80 (Pusdiknakes, 2007).

Dua hal tersebut tampaknya perlu untuk segera ditanggulangi selain faktor-faktor lain yang belum teridentifikasi dalam tulisan ini. Beranjak dari hal inilah sebenarnya lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia dapat mulai ikut berperan aktif dalam merumuskan strategi yang tepat dalam mendidik calon perawat. Laporan tentang pengalaman perawat yang berkerja di luar negeri perlu disampaikan dalam tulisan ini agar kita dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Sampai saat ini penulis belum menemukan laporan penelitian yang terkait dengan pengalaman perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri. Di lain pihak, kebanyakan laporan penelitian di negara lain terkait topik tersebut menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dilaporkan bahwa alasan yang mendorong seorang perawat untuk bekerja di luar negeri antara lain gaji yang lebih tinggi, prospek karir dan pendidikan yang lebih menjanjikan (Buchan, J. & Calman, L, 2007).

Pada review penelitian oleh Magnusdottir (2005), penelitian Yi & Jezewski (2000) tentang penyesuaian diri 12 Perawat Korea yang bekerja di rumah sakit di AS melaporkan bahwa pada 2-3 tahun pertama mereka bekerja ditandai dengan usaha mengurangi stress psikologis, mengatasi kendala bahasa, dan menyesuaikan diri dengan praktek keperawatan di USA. Kemudian pada 5 - 10 tahun kemudian ditandai dengan belajar mengadopsi strategi penyelesaian masalah menurut budaya AS dan memelihara hubungan interpersonal. Mereka yang berhasil dalam proses tersebut dilaporkan merasa puas. Kendala-kendala di atas merupakan tantangan bagi perawat Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya dalam upaya memenangkan persaingan di tingkat global.

Sabtu, 25 Oktober 2008

Prospek cerah Ikan mas “bocah”

Ikan mas laleutik (kecil-kecil) ini ternyata memiliki pasar yang prospektif. Tak pernah ada kata rugi dalam membudidayakannya. Russanti Lubis

Ada gula, ada semut. Begitulah gambaran bisnis ikan mas balita yang dijalankan Rosyid Dahlan, mantan Account Officer Bank Rakyat Indonesia cabang Cianjur, Jawa Barat. Dikatakan begitu, semula ikan mas balita cuma dibudidayakan, di Cianjur khususnya, secara sambil lalu. Mendadak, boleh dikata begitu, dibudidayakan secara intensif. Hal ini, ternyata dipicu oleh banyaknya permintaan dari kalangan berduit di Jakarta. 

“Orang-orang Jakarta kalangan atas justru lebih menyukai ikan mas balita dibandingkan ikan mas dengan ukuran pada umumnya. Dengan digoreng garing, ikan-ikan seukuran jari tangan orang dewasa ini, akan terasa renyah dan gurih saat dimakan. Bahkan, beberapa orang menjadikannya sebagai teman minum teh atau kopi,” jelasnya. Sekadar informasi, ikan mas balita ini, karena ukurannya yang mungil, hanya dapat dikonsumsi dengan cara digoreng.

Apa sih ikan mas balita? “Ikan mas balita merupakan nama dagang yang diberikan oleh sebuah perusahaan katering di Bogor, terhadap ikan mas yang saat dipanen baru berumur sebulan. Sebenarnya, istilah ini mengacu kepada ikan-ikan tersebut setelah mereka diolah atau digoreng. Produsen lain mengistilahkannya ikan laleutik (Sunda: ikan kecil-kecil, red.), ikan baby, dan sebagainya. Sedangkan dalam pembudidayaan ikan mas, ia diistilahkan putihan,” katanya. Sekadar informasi, dalam pembudidayaan ikan yang berwarna kuning keemasan ini, terdapat tiga tahapan yang harus dilalui, yang dimulai dari penetasan dan diakhiri dengan pemanenan. Ketiga tahapan itu diistilahkan burayak, gabar, dan putihan. “Serah, itu istilah Cianjurnya,” imbuhnya. 

Dari segi bisnis, Rosyid melanjutkan, mengembangbiakkan ikan mas balita lebih berisiko dibandingkan membudidayakan ikan mas dalam ukuran normal, yang jelas-jelas lebih menguntungkan. Tapi, bila petani ikan mas tidak mempunyai lahan yang cukup besar, budidaya ikan mas balita tentu saja lebih prospektif, apalagi untuk kondisi saat ini. “Untuk membesarkan ikan mas hingga seberat ¼ kg saja, dibutuhkan lahan yang sangat besar. Jadi, bayangkan berapa luas empang yang harus kita miliki, jika kita menebar satu liter benih ikan mas, padahal dalam satu liter itu terdapat 2.000 benih,” ujarnya. Sekadar informasi, satu liter benih ikan mas dijual dengan harga Rp50 ribu.

Budidaya ikan mas balita, khususnya, juga sangat tergantung pada kondisi lokasi pembudidayaan. “Ikan mas balita bagus dikembangbiakkan di daerah yang memiliki kondisi alam dan cuaca seperti Cianjur, misalnya di Ciganjur atau Depok,” katanya. Di samping itu, sebelum budidaya dilakukan, kita juga harus memiliki empang yang benar-benar terpelihara. “Caranya, keringkan empang terlebih dulu selama minimal lima hari. Setelah itu, kawinkan ikan mas betina dengan pejantan dalam empang tersebut. Usai perkawinan, di hari yang sama, ikan mas betina akan bertelur. Tiga hari kemudian, telur-telur ini akan menetas. 12 hari berikutnya, ikan-ikan ini sudah dapat dipanen dan dijual. Jadi total waktu yang dibutuhkan dalam budidaya ini hanya 20 hari,” ungkapnya. Usai dipanen, empang harus dibersihkan lagi. Jika kurang subur, bisa diberi pupuk. 

Dari setiap liter benih yang ditebarkankan dihasilkan 30 kg ikan mas balita. Tapi, hasilnya tidak selalu sebesar itu karena banyak faktor, misalnya penyakit, benih dimakan binatang lain, air yang terkena polusi, atau cuaca yang kurang mendukung. “Musim kemarau bagus untuk mengembangbiakkan ikan, sedangkan musim penghujan akan menghambat pertumbuhan ikan,” jelas pria yang mulai serius berbisnis budidaya ikan sejak tahun 2000 ini. Di sisi lain, ikan mas balita juga dapat dibudidayakan di sawah (minapadi, red.). Tapi, karena dilakukan secara tradisional atau alakadarnya dan disambi menunggu benih padi siap tanam, maka hanya akan dihasilkan 20 kg untuk setiap satu liter benih yang ditebarkan.

Dalam pemasarannya, di tingkat petani, ikan-ikan imut ini dijual dengan harga Rp16 ribu hingga Rp17 ribu per kilogram, maksimal Rp20 ribu/kg. Sedangkan setiap kilonya berisi sekitar 200 ekor. “Saya panen sebulan sekali sebanyak 50 kg, sedangkan setiap minggu saya harus memasok 4 kuintal ke sebuah perusahaan katering di Bogor, sehingga saya harus mengumpulkan sisanya ke para petani ikan balita setempat. Bahkan jika bulan puasa tiba, saya harus memasok sekitar 3 kuintal per tiga kali seminggu,” kata pemilik sembilan empang dengan total luas hampir 2 ha, yang tersebar di Kampung Kopo, Kampung Joglo, dan Kampung Bojongrenget, yang semuanya terletak di Cianjur. Setelah diolah (digoreng dan dikemas, red.), ikan-ikan ini dijual ke konsumen dengan harga Rp55 ribu per ¼ kg.  

“Bisnis (budidaya) ikan itu tidak merugikan. Bahkan, kadangkala mendatangkan untung besar, meski tak jarang hanya untung kecil yang bisa diraup, tapi tidak pernah merugi, sepanjang sudah memiliki atau mengetahui pasarnya,” ucap Rosyid. Anda tertarik? Silahkan lihat boks.

Analisa Usaha Ikan Mas Balita (dalam 1 periode)
Jika Anda berminat berbisnis ikan mas balita, tapi Anda tidak mau direpotkan dengan segala tata aturan pembudidayaannya atau luas lahan Anda terbatas, maka sebaiknya Anda cukup membeli benihnya saja. 

Investasi 
Benih 2 lt @ Rp50.000,-/lt Rp 100.000,-

Biaya Produksi
Pakan 1 kuintal @ Rp4.000,-/kg Rp 400.000,-
1 tenaga kerja Rp 100.000,- +
Total Rp 600.000,-

Hasil Penjualan (tingkat petani)
60 kg @ Rp20.000,-/kg Rp1.200.000,- -
Laba Kotor Rp 600.000,-

Catatan: 
Risiko kematian 15% hingga 20%. 
Pembudidayaan ini dilakukan di dalam kolam seluas 1.000 m². 
Laba kotor ini merupakan hasil panen ikan mas balita hanya dalam satu kolam. Dengan demikian, semakin banyak kolam yang dimiliki, semakin banyak laba yang diraup.

sumber :www.majalahpengusaha.com